Awalnya, kedatangan Shimon, seorang Rabbi Yahudi di Islamic Forum membuat curiga. Siapa sangka, Shimon jutsru tertarik Islam dan mengucapkan syahadat.
M. Syamsi Ali
Seminggu menjelang Ramadan lalu, kelas the
Islamic Forum nampak lebih ramai dari biasanya. Mungkin karena banyak
di antara muallaf itu ingin lebih mendalami puasa, baik dari segi
hukum-hukum yang terkait maupun makna-makna hakikat dari puasa itu.
Hampir semuanya wajah lama atau murid-murid lama, baik muallaf maupun
non Muslims, yang telah mengikuti diskusi Islam di forum tersebut lebih
dari 3 bulan. Tapi nampak juga beberapa wajah yang belum aku kenali sama
sekali.
Salah satu wajah baru itu adalah seorang
pria putih dengan janggut pendek yang terurus rapih. Duduk di pinggiran
ruangan, dan nampak memperhatikan dengan seksama tapi terlihat cuwek.
Aku sangka bahwa orang ini adalah seorang Muslim karena wajahnya
mengekspresikan persetujuan dengan setiap poin yang kusebutkan siang
itu. Tapi, nampak dingin dan sepertinya tidak nampak bahwa dia tertarik
dengan penjelasan saya itu.
Saya memang memulai penjelasan saya dengan
sejarah puasa kaum-kaum terdahulu. Merujuk pada kata-kata “kamaa kutiba
‘alalladzina min qablikum” (sebagaimana telah diwajibkan atas kaum-kaum
sebelum kamu), saya kemudian merujuk kepada beberapa fakta sejarah
puasa umat-umat terdahulu, termasuk kaum yahudi. Di saat saya intens
menjelaskan ayat ini, tiba-tiba dia tersenyum dan mengangkat tangan.
“Yes Brother!” sapa saya. “Can I say
something?” tanyanya. Tentu dengan senang saya menyetujuinya. Dia
kemudian meminta maaf karena tiba-tiba masuk ke kelas ini tanpa permisi.
“I feel I did some thing impolite”, katanya. “Oh no, this forum is open
for every person, and doesn’t require any registration. You are in the
right place on the right time”, jawabku.
“What did you want to say Brother? But let me ask you first, what is your name?”, tanyaku. “Sorry, I am Shimon!”, jawabnya.
Dia kemudian menjelaskan puasa dari
perspektif Yahudi. Dengan sangat lancar dan seolah berceramah dia
bersungguh-sungguh menjelaskan sejarah dan makna puasa dari pandangan
ajaran Yahudi. Mendengarkan penjelasan itu, hampir semua yang hadir
terkejut. Melihat situasi itu, sayapun bertanya: “Sorry Brother, are you
a Muslim or not? And why do you know a lot about Judaism?”.
Sedikit gugup dia kemudian mengatakan:
“Imam, actually I am a Rabbi. I was ordained Rabbi two years ago”.
Mendengarkan penjelasannya itu rupanya membuat banyak peserta ternganga.
Baru pertama kali kelas the Forum for non Muslims ini ditangani seorang
Rabbi (pendeta Yahudi). Apalagi dalam penjelasannya tentang puasa itu
seperti mendakwahkan ajarannya. Sehingga wajar kalau ada yang curiga
kalau-kalau dia datang untuk sebuah misi.
Saya kemudian menyapah dengan ramah dan
mengatakan: “Welcome to our class sir!”. Tapi untuk menenangkan para
peserta saya menyampaikan kepadanya bahwa saya sudah seringkali terlibat
dialog dengan pendeta-pendeta Yahudi, seraya menyebutkan beberapa Rabbi
senior di kota New York . Mendengarkan nama-nama itu, rupanya cukup
mengagetkan bagi dia. “All those are very respectful Rabbis!” katanya.
“Yes, I am fortunate to have known them and be known by them!” kataku.
Saya kemudian menyampaikan terima kasih
atas penjelasan-penjelas annya mengenai puasa di agama Yahudi. “It’s
almost similar to ours. The only thing that you guys keep changing it
throughout the history”. Mendengar itu, nampaknya dia setuju dan hanya
mengangguk.
Saya kemudian melanjutkan penjelasan saya
mengenai hukum-hukum puasa. Murid-murid muallaf, dan bahkan non Muslim
yang hadir hari itu memang ingin tahu bagaimana menjalankan ibadah
puasa. Tanpa terasa, penjelasan mengenai puasa itu memakan waktu lebih 2
jam. Akhirnya tiba sesi tanya jawab.
Rupanya tidak terlalu banyak hal yang
ditanyakan oleh peserta dan waktu masih ada sekitar 45 menit. Maka
kesempatan itu saya pergunakan untuk menjelaskan agama dan umat Yahudi
dalam perspektif Al-Quran dan sejarah. Bahwa memang Al-Quran menyinggung
secara gamblang sikap orang-orang Yahudi terdahulu, mulai sejak nabi
Ya’kub hingga nabi-nabi kaum Israil lainnya, termasuk umat nabi Musa
A.S.
Sejarah pergulatan politik, agama, kultur
dan budaya antara kaum Muslimin dan kaum Yahudi di Madinah, termasuk
bagaimana awal terbentuknya Piagam Madinah. Saya kemudian menjelaskan
bagaimana toleransi Rasulullah S.A.W di Madinah dengan fakta-fakta
sejarah yang akurat. Bagaimana Umar bin Khattab memberikan keluasan bagi
kaum Yahudi untuk kembali menetap di Jerusalem setelah diusir oleh kaum
Kristen. Bagaiman penguasa Islam di Spanyol memberikan “kesetaraan”
(equality) kepada seluruh rakyatnya, termasuk kaum Yahudi. Bahkan
bagaimana penguasa kaum Muslim di bawah Khilafah Utsmaniyah menerima
pelarian Yahudi dari pengusiran dan “inquisasi Spanyol” kaum Kristen di
Spanyol.
Penjelasan-penjelas an saya itu rupanya
tidak bisa diingkari oleh Shimon. Rupanya mereka juga tahu fakta-fakta
sejarah itu. Bahkan sebenarnya kebanyakan buku-buku sejarah toleransi
Islam kepada umat Yahudi itu justeru ditulis oleh mereka yang non Muslim
dan bahkan mereka yang beragama Yahudi sendiri. Saya bahkan mengutip
pernyataan Kofi Annan, mantan Sekjen PBB, dalam sebuah acara interfaith
di PBB tahun lalu.
Tanpa terasa 30 menit berlalu. Di
akhir-akhir pertemuan itu, tiba-tiba Shimon sekali lagi dengan tatapan
mata yang nampak acuh, mengangkat tangan. “Yes Brother, any comment?”,
pancingku. “Yes, I think what you just said, for us Jews, are well
known”, katanya. Dia kemudian berbicara panjang lebar mengenai upaya
penyembunyian fakta-fakta sejarah itu. Dan pada akhirnya dia mengakui
bahwa bagi mereka yang murni masih mengikuti ajaran Yahudi seharusnya
percaya kepada risalah terakhir dan nabinya.
Saya kemudian memotong pembicaraan Shimom,
seraya bercanda: “If so, do you consider yourself a genuine Jew or
not”. Dia sepertinya tertawa, tapi nampaknya karena kepribadian dia yang
memang kurang tersenyum dan nampak seperti cuwek, dia menjawab: “To be
honest with you, I believe that this is the religion of Moses”. He came
with the same mission that Mohamed brought around 15 centuries ago”,
tegasnya.
Tanpa menyia-nyiakan kesempatan itu, saya
tanya lagi: “So you believe that Mohammed is a messenger and prophet of
God and his teaching is the true teaching of God?”, tanya saya. Dengan
tenang dia menjawab: “I am sure about that. But I really don’t know what
to do”.
“Brother Shimon”, basically you are a
Muslim. What you need to do is simply you need to formalize your faith
with the presence of witnesses”, jelasku.
Mendengarkan itu, dia nampak tersenyum
tapi melihat raut wajahnya dia sepertinya cuwek. Tapi karena sejak awal
memang demikian, saya yakin bahwa cuwek itu bukan berarti tidak serius,
tapi memang itulah kepribadiannya. Tiba-tiba dia bertanya: “And how to
do that?”. Saya menengok pada peserta lainnya yang juga ikut senang
mendengarkan percakapan itu, lalu menjawab: “Brother, it’s very easy.
What you need to do right know is that you must confess that there is no
god worthy of worship but Allah, and that Muhammad is His Prophet and
Messenger. Are you ready?” tanyaku.
Setelah dengan mantap menjawab “yes”, saya
kemudian mengatakan kepada peserta lainnya yang hampir semuanya
muallaf, “be witnesses for Allah!”. Maka, dengan suaranya yang lantang,
Rabbi Shimon resmi mengucapkan “Syahadaaten”, diikuti kemudian oleh
pekikan takbir para peserta Forum Islam yang kebanyakan wanita itu. Dan
Ramadan kemarin adalah awal Ramadan baginya dengan puasa penuh secara
Islam.
Kemarin siang, Sabtu 27 Oktober, setelah
kelas selesai, Shimon mendekati dan berbisik: “I don’t know if this is
an appropriate question to ask”, katanya. “What is that?”, tanyaku. “Who
was that lady sitting to your right side, and is she married?”,
tanyanya. “Why is the question?” tanyaku lagi. “I think it is the time
for me to be serious in my life. I need a wife”, katanya serius.
“Ok Brother Shimon. I really forgot whom
that you are talking about. But let me know next week”, jawabku. “Sorry
Imam if that is considered inappropriate to ask”. “Oh not at all. It is
in fact an important thing to ask. And believe me, it is also my
responsibility to help you in this regard. We will talk next Saturday
about it”, kataku sambil meninggalkan kelas.
Alhamdulillah, semoga mantan pendeta
Yahudi ini dikuatkan dan dan dijadikan da’I yang tangguh bagi kebenaran
di masa depan. Amin!
New York , 29 Oktober 2007
* Penulis adalah imam Masjid Islamic Cultural Center of New York. Syamsi adalah penulis rubrik “Kabar Dari New York” di hidayatullah.com
0 komentar:
Posting Komentar