Breaking News
Loading...
Sabtu, 21 Maret 2015

Mereka Generasi Rabbani dan Qurani, Lalu Kita?

02.08

Oleh: Mushonnifun Faiz Sugihartanto
Kepala Departemen Keprofesian dan Keilmiahan HMTI ITS Surabaya


KAMI kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita ini dengan benar. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk. (QS. Al-Kahfi [18]: 13)
Siapa yang tidak mengetahui kisah pemuda Kahfi. Mereka rela meninggalkan kehidupan dunia yang gemerlap. Mereka lebih memilih berdiam diri di dalam gua yang pengap.
Mereka tidak lagi memikirkan tawaran tentang dunia sebab mereka lebih memilih mengurusi bagaimana nasib mereka di akhirat kelak. Hingga mereka ditidurkan oleh Allah selama 309 tahun lamanya.
Atau kisah Thariq bin Ziyad. Sang penakluk Spanyol pada masa Dinasti Bani Umayyah. Bagaimana ia membakar sendiri kapal-kapal kaum muslimin ketika sampai di daratan Andalusia sembari berkata dengan lantang, “Lebih baik mati sebagai syuhada’ di tanah perang daripada kembali dalam kekalahan”.
Hingga yang paling fenomenal adalah kisah Muhammad Al Fatih atau dalam sejarah biasa dipanggil Sultan Mehmed II. Sultan dari kerajaan Turki Utsmani yang berhasil menaklukkan imperium yang paling berkuasa di dunia pada waktu itu, ialah Romawi Timur.
Ia bersama pasukannya berhasil menaklkkan Byzantium atau Tembok Konstantinopel yang bahkan selama 8 abad berdiri belum mampu ada yang meruntuhkannya. Siapa sangka sang penakluk baru berusia 21 Tahun!
Tentu yang menjadi pertanyaan apa rahasia mereka dan para pemuda islam pada zaman dahulu begitu gemilang dalam mengukir prestasi pada agamaNya? Kalau kita mencoba merenungkannya sebenarnya cara-cara tersebut kita mengetahuinya, hanya saja entah melihat perkembangan dan dinamika zaman saat ini cara inilah yang justru banyak ditinggalkan oleh para pemuda islam saat ini.
Yang pertama, sumber segala kekuatan dari pemuda pada zaman lampau adalah Al-Quran. Ya, sebagaimana yang kita tahu bahwa mukjizat terbesar dari seluruh Nabi dan Rasul Allah SAW adalah Al-Quran. Betapa banyak pemuda islam yang dahulu tidak melewatkan hari-harinya dengan Al-Quran.
Bahkan pasukan Muhammad Al-Fatih sejumlah 250ribu orang semuanya tidak pernah melewatkan satu harinya tanpa membaca Al-Quran sejak usia ballighnya. Itulah hal yang saat ini banyak dilupakan oleh para pemuda. Padahal, berabad-abad yang lalu Rasulullah SAW pernah bersabda,
“Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari Al-Quran, dan mengajarkannya” (HR. Bukhari, dari Utsman bin Affan ra)
Yang kedua, pemuda islam pada masa lampau selalu berkelompok. Maksud di sini mereka berkelompok dalam rangka menuju kebaikan. Contohnya adalah seperti kisah Ashabul Kahfi di atas bagaimana mereka berkelompok untuk melaksanakan sebuah kebaikan, dan di dalamnya tak bisa dipungkiri saling menguatkan.
Hal itulah yang menjadi esensi mengapa Shalat berjamaah menjadi lebih utama dengan pahala 27 kali lipat. Bahwasanya islam menghendaki kebersamaan dalam melaksanakan kebaikan dan perintahNya. Maka karena itulah, Allah berfirman dalam Al-Quran Surat Al-Ashr ayat 2-3 yang berbunyi:
“Sesungguhnya manusia itu dalam kerugian. Kecuali orang yang beriman dan beramal shaleh dan saling menasehati dalam kebenaran, serta saling menasihati dalam kesabaran” (QS. Al-Ashr : 2-3)
Nah jelas dalam petikan ayat di atas, bahwasanya Allah menghendaki kita agar saling mengingatkan dan saling menasihati. Caranya? Tentu saja dengan membentuk komunita-komunitas rabbani yang bertujuan untuk mendekatka diri kepada Allah SWT.
Hal itu bertolak belakang dengan sekarang. Makin marak komunitas-komunitas atau sekumpulan pemuda yang berkelompok justru karena suka huru hara, kongkow-kongkow, hidup dalam bingkai hedonisme, sehingga bukannya mereka semakin dekat kepada Allah, namun justru semakin jauh.
Yang ketiga adalah memiliki keberanian (syaja’ah) dalam menyatakan yang haq (benar) dan melawan yang salah (bathil). Mereka berani menanggung resiko atas idealisme dan keyakinannya sekalipun nyawa taruhannya.
Kita tentu masih ingat bagaimana seorang Bilal bin Rabah dijemur dengan bertindihkan batu besar di padang pasir dan nyaris terpanggang di atasnya.
Ada juga Ammar bin Yasir yang sekeluarganya disiksa, sedangkan dia sendiri dibakar karena telah masuk ke dalam agama islam. Ada pula kisah heroik Nabi Ibrahim a.s pada masa Raja Namrudz. Ia menghancurkan seluruh berhala dan menggantungkan kapaknya di berhala paling besar, padahal ayahnya sendiri adalah pembuat berhala.
Hal itu berbeda dengan pemuda saat ini ketika ia justru lebih bersikap lunak sekalipun di depannya terjadi kesalahan. Atau justru yang lebih parah ia malah mengikuti arus dan lingkungan di sekitarnya sehingga sama-sama terjebak kepada hal yang bathil.
Yang keempat para pemuda zaman lampau benar-benar menjaga akhlak dan kepribadiannya. Mereka senantiasa sadar bahwa Allah SWT mengawasi mereka kapan pun dan dimanapun mereka berada. Tentu kita masih ingat bagaimana kisah Nabi Yusuf as. Hal itu dikisahkan dalam Al-Quran:
Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih. (QS. Yusuf: 22-24).
Dalam ruangan tertutup tentu tidak ada orang yang mengetahuinya. Namun Yusuf pun menolak dan memilih untuk menjaga akhlaknya, dan ia lebih memilih penjara sebagai konsekuensi atas perbuatannya.
Melalui penjabaran di atas semoga hal itu menjadi refleksi diri. Tentang kejayaan islam di masa lalu dengan pemuda sebagai garda terdepannya. Lalu sekarang ketika pemuda mengalami degradasi akhlak, akankah kita berdiam diri? Akankah kita justru terbawa arus? Atau kita akan menjadi seorang leader of change, seorang pemimpin perubahan yang akan membawa islam ini kembali ke kejayaannya. Semoga saja, dan marilah kita hayati bahwa sesunggunya kita ditakdirkan menjadi ummat yang terbaik di dunia ini.
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah SWT. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”. (QS. Ali Imron : 110)

0 komentar:

Posting Komentar

 
Toggle Footer